oleh : Arum K
Banten seakan memiliki kekayaan alam dan budaya yang tiada habisnya, kekayaan yang masih tersimpan dan belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Salah satu dari kekayaan budaya Banten tersebut adalah Lebak Sibeduk, susunan batu menyerupai stepping pyramid yang di Indonesia lebih dikenal sebagai punden berundak. Kali ini, saya akan berbagi cerita tentang perjalanan ke Lebak Sibedug, yang mungkin tidak akan pernah terjadi bila tidak diundang oleh Tim Arkeologi Nasional yang kebetulan sedang melakukan penelitian dan pendataan situs-situs punden berundak di Banten dan Jawa Barat.
Lebak Sibedug terletak di kampung Cibedug, bagian dari desa Citorek, Kabupaten Lebak, dan termasuk area Taman Nasional Gunung Halimun. Untuk mencapai daerah ini, jalur yang paling nyaman adalah dari arah Rangkasbitung, berkendara selama kurang lebih tiga jam ke arah selatan melalui Cipanas, sebelum akhirnya tiba di desa Citorek. Selanjutnya, perjalanan dapat diteruskan dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih delapan kilometer dengan medan yang menanjak. Saat itu saya menempuhnya dalam waktu empat jam dengan banyak sekali istirahat, gabungan antara lelah dan kagum dengan indahnya saujana. Untuk alternatif lain, bisa juga menggunakan ojek dengan biaya 75.000 sekali jalan (biaya tahun 2013), cocok untuk yang suka uji nyali karena medan yang berbatu dan menanjak curam.
Menuju Citorek
Kampung di tengah Taman Nasional Gunung Halimun
Batas Citorek
Situs ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tatanan masyarakat yang menyebut dirinya Kasepuhan Banten Kidul, suku yang masih kalah populer dengan tetangganya yaitu Suku Baduy. Suku yang sudah menganut ajaran Islam, tapi masih lekat mempertahankan kebudayaan Sunda dengan falsafah hidup utama yang mereka sebut sebagai Tri tangtu, atau tiga yang benar. Kepercayaan yang tercermin pada tatanan masyarakat dan kehidupan keseharian mereka, termasuk juga dalam pola pembagian tugas dan wewenang di tengah pemuka adat mereka. Dengan dipimpin oleh pemuka adat yang disebut sebagai kasepuh dan kakolot, masyarakat Kasepuhan Banten Kidul hingga sekarang masih memanfaatkan situs Lebak Sibedug sebagai ruang sakral mereka, tempat dilakukannya upacara-upacara penting seperti sebelum dimulainya masa menanam padi dan saat mereka panen, termasuk juga masih memberlakukan hari pantang untuk masuk ke kawasan situs yaitu tiap hari selasa dan sabtu.
Berdasarkan hasil penilaian sementara dari tim Arkenas, dikatakan bahwa kemungkinan besar situs ini telah dibangun sejak 500 tahun sebelum masehi atau lebih awal lagi. Pengetahuan saya yang masih sangat terbatas tentang budaya dan arsitektur Sunda, mungkin menjadi sangat lemah untuk dijadikan referensi berdasarkan tulisan ini, tetapi rasa ingin tahu yang kuat yang membuat saya mencoba menelusuri Kampung Cibedug di luar area situs itu sendiri. Dari hasil berjalan keliling kampung yang terletak tepat di sisi barat situs, saya mendapati beberapa informasi yang menarik. Situs dan kampung menempati kawasan yang merupakan gugusan bukit, di mana situs menempati bukit di sisi timur dengan pintu masuk dari sisi barat yang berhadapan langsung dengan bukit dimana perkampungan penduduk dibangun. Sementara di sisi utara, membentang lahan persawahan dengan satu bukit kecil yang digunakan sebagai area pemakaman. Di sisi selatan, kembali dibatasi dengan satu bukit yang menjadi batas antara kampung Cibedug dengan kampung sebelahnya. Di tiap-tiap bukit ini terdapat tegakan batu menhir yang disebut tukuh sebagai penanda. Di bukit yang terletak di barat tempat perkampungan dibangun, tukuh terletak persis di sisi kanan rumah Kasepuh, berupa tegakan batu menhir yang terletak di dalam pagar yang di dalamnya dilengkapi dengan tanaman hanjuang, bangle, dan tanaman lain yang erat kaitannya dengan penolak bala sesuai kepercayaan mereka.
Kampung Cibedug
Bukit kecil di utara sebagai tempat peristirahatan terakhir
Tukuh di samping rumah Kasepuh
Tukuh di sisi selatan kampung
Untuk kawasan situs sendiri, menempati bukit di sisi timur, yang dikelilingi oleh dua anak sungai yang kemudian bertemu di kaki bukit. Tempat pertemuan ke dua anak sungai tersebut, kemudian dijadikan sumur tempat mengambil air suci yang akan digunakan dalam setiap upacara. Untuk mencapai situs, harus menaiki gugusan anak tangga yang akan mengantar ke pelataran pertama, selanjutnya kita masih harus mendaki beberapa anak tangga untuk mencapai pelataran ke dua, pelataran yang cukup luas dengan beberapa gugusan konfigurasi batu yang menandai suatu ruang. Mungkin saja dulu ada tegakan bangunan berdiri di sana, atau mungkin hanya berupa batas yang menandai satu kegiatan tertentu.
Gugusan batu di pelataran ke dua, bangunan bambu di sisi kanan adalah tempat tegakan empat buah menhir tempat dilakukannya upacara adat.
Situs yang terdiri dari beberapa tingkat, adalah bukit yang dibentuk dengan menyusun dan menancapkan bebatuan di punggungnya sehingga terbentuk menjadi bertingkat-tingkat. Batu yang disusun kemungkinan besar berasal dari sungai yang mengitari bukit, ukurannya dan bentuknya beragam, hanya dibagian sisi-sisi tertentu terdapat batu yang sepertinya dibentuk khusus menjadi lurus memanjang. Lereng yang terdapat di sisi kiri dan kanan punden menjelaskan bahwa kemungkinan besar pembangunannya dengan mengangkat atau menggelindingkan batu di lereng landai menyerupai ramp tersebut hingga ke puncak. Teknologi sederhana dengan pengetahuan tepat guna dari masyarakat masa itu.
Batu yang mengeluarkan suara menyerupai beduk setiap menjelang Ramadhan tiba yang menjadi asal muasal nama kampung Cibedug
Puncak Punden dari pelataran ke empat
Banyak cerita yang belum terungkap dari perjalanan yang hanya dua malam ke situs ini, tetapi keramahan dari para sesepuh kampung dan warga, seakan menjadi undangan untuk kembali lagi ke sini. Mungkin dalam waktu dekat, tim penjelajah IAI Banten yang akan khusus datang dan menggali lebih dalam kekayaan arsitektur dan budaya Banten, khususnya yang berada di Kasepuhan Banten Kidul.
Pagi Belanja
Berangkat Sekolah
Pagi di Cibedug
Kaki Lumbung
Pak Jurna, sang kakolot ‘the living historian’
Cibedug kala senja
Inspirasi bambu